JAKARTA, iNewspolman.id – Tampak di tengah, Ketua Persatuan Guru Inpassing Nasional (PGIN), Hadi Sutikno, S.Pd.I, bersama para guru lainnya saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VIII DPR RI dan Kementerian Agama RI. (Foto: PGIN Pusat)
Perubahan besar dalam dunia pendidikan madrasah terus bergulir, meski tak selalu disadari publik. Di balik setiap regulasi yang tampak sederhana, ada perjuangan panjang, diam-diam, dan tak jarang sunyi, dari para guru madrasah, terutama mereka yang mengabdi di lembaga-lembaga kecil, terpencil, dan jauh dari pusat perhatian.
Salah satu momentum penting terjadi akhir tahun 2021 hingga awal 2022, saat Juknis Tunjangan Profesi Guru (TPG) menghapus syarat rasio siswa per rombongan belajar. Kebijakan ini mungkin tampak biasa bagi madrasah besar, namun menjadi titik terang bagi madrasah kecil yang sering kali memiliki siswa di bawah sepuluh per rombel. Para guru tak lagi harus memohon dispensasi ke Kemenag; mereka cukup memenuhi syarat administratif yang lebih manusiawi dan adil.
Perjuangan itu terus berlanjut. Tahun 2023, desakan agar syarat pendaftaran PPPK tidak lagi harus melalui rekomendasi kanwil, cukup dari kepala unit kerja, akhirnya diakomodasi. Ini merupakan langkah efisiensi yang sangat membantu para guru yang selama ini terbebani birokrasi panjang.
Satu per satu hasil perjuangan mulai terlihat. SK Inpassing berbasis SIMPATIKA yang telah dinanti sejak 2018, akhirnya terbit. Meskipun diwarnai dinamika dan indikasi penyalahgunaan dana, namun terbitnya SK ini tetap menjadi oase harapan bagi ribuan guru yang mendambakan kejelasan status dan hak-haknya.
Perjuangan selanjutnya lebih monumental lagi: usulan peningkatan kuota PPG dari 9.000 menjadi 50.000 per tahun. Tak disangka, pemerintah justru merespons lebih besar—300.000 kuota PPG disiapkan selama dua tahun ke depan. Ini bukan hanya angka, melainkan lompatan untuk meningkatkan kualitas dan martabat pendidik madrasah secara nasional.
Tak kalah penting, terakomodirnya ijazah dari jurusan KI, MPI, dan PAI bagi guru RA sebagai syarat PPG menunjukkan keberpihakan terhadap keberagaman latar belakang guru. Bersamaan itu, insentif bagi guru non-TPG yang sempat hilang, kini mulai muncul kembali.
Pada pertengahan Februari 2025, isu efisiensi dana BOS, BOP, dan insentif guru menjadi perhatian serius. Gerak cepat dilakukan: delegasi guru langsung ke DPR RI dan pada 17 Februari digelar RDP bersama. Banyak hal berhasil dijawab, meskipun PR besar masih tersisa, khususnya untuk BOP RA dan BOS MA.
Semua ini bukan kerja satu hari, bukan hasil sorotan media. Di baliknya ada jaringan gerakan, diskusi senyap, dan keteguhan hati yang terus menyuarakan keadilan. Para guru ini bukan pencari panggung, melainkan penjaga asa yang percaya bahwa memperjuangkan hak sesama adalah bagian dari ibadah.
Kini, mereka menanti keputusan resmi dari Mahkamah Agung atas uji regulasi yang diajukan. Mereka juga menunggu jadwal RDPU antara Komisi II DPR RI, DPD RI, dan kementerian terkait yang menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Menpan RB, BKN, dan Kemenag. Bahkan komunikasi dengan Istana telah dijalin, menandai bahwa perjuangan guru tidak berhenti hanya di forum teknis, tetapi telah sampai ke pusat kebijakan negara.
Tahun ini kemungkinan akan menjadi saksi Aksi Gabungan dari berbagai organisasi profesi guru, bersatu dalam semangat dan cita-cita: menyuarakan keadilan dan memperjuangkan martabat pendidik Indonesia.
Narasi ini bukan sekadar kabar. Ini adalah panggilan kesadaran. Bahwa menjadi guru madrasah bukan hanya mengajar, tetapi juga memperjuangkan masa depan bangsa dari ruang-ruang kecil yang dipenuhi cahaya ilmu. Saatnya publik melihat mereka bukan hanya sebagai pelengkap, tapi sebagai pejuang garis depan dalam mencerdaskan generasi.
Editor : Huzair.zainal
Artikel Terkait