get app
inews
Aa Text
Read Next : Perkelahian di Campalagian Berujung Pembakaran Sepeda Motor, Polisi Turun ke TKP

Hukum Keluarga Islam Berubah Drastis: Negara Perketat Nikah, Poligami, hingga Usia Perkawinan

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:49 WIB
header img
Alauddin menjelaskan, reformasi hukum keluarga Islam di Indonesia ditopang oleh tiga tonggak penting yang menjadi fondasi hukum keluarga Islam “khas Indonesia” (Foto: Basribas)

POLEWALI MANDAR, iNewspolman.id — Wajah hukum keluarga Islam di Indonesia terus bergerak mengikuti denyut zaman. Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini telah melalui perjalanan panjang dalam mengelola hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyyah), dari praktik tradisional berbasis fikih mazhab hingga sistem hukum nasional yang berorientasi pada perlindungan dan keadilan.

Pandangan tersebut disampaikan Alauddin, S.H., mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene, yang juga berprofesi sebagai Penyuluh Agama Islam di KUA Matakali, Kabupaten Polewali Mandar.

Menurutnya, sebelum kemerdekaan, hukum keluarga Islam di Indonesia berkembang secara beragam, dipengaruhi kuat oleh Mazhab Syafi’i dan hukum adat setempat.

“Keberagaman itu di satu sisi mencerminkan kekayaan tradisi, tetapi di sisi lain menimbulkan ketidakpastian hukum yang kerap merugikan kelompok rentan, terutama perempuan dan anak,” ujarnya, Sabtu (27/12)

Alauddin menjelaskan, reformasi hukum keluarga Islam di Indonesia ditopang oleh tiga tonggak penting yang menjadi fondasi hukum keluarga Islam “khas Indonesia”.

Pertama, lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Regulasi ini menyatukan berbagai aturan kolonial yang sebelumnya diskriminatif ke dalam satu sistem hukum nasional.

Salah satu poin krusialnya adalah kewajiban pencatatan perkawinan, yang memberi kepastian hukum serta melindungi hak nafkah dan waris istri serta anak.

Kedua, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991, yang hadir sebagai pedoman bagi hakim Pengadilan Agama.

KHI disebut sebagai hasil ijtihad kolektif bangsa karena memadukan nilai-nilai fikih dengan konteks keindonesiaan, termasuk pengakuan terhadap harta bersama atau gono-gini yang berakar dari hukum adat.

Ketiga, regulasi paling mutakhir yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang merevisi batas usia perkawinan.

Aturan ini menaikkan usia minimal menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun, setara dengan laki-laki, sebagai upaya menekan praktik perkawinan anak dan melindungi kesehatan serta hak pendidikan generasi muda.

Lebih jauh, Alauddin menilai substansi reformasi hukum keluarga Islam di Indonesia menegaskan orientasi pada keadilan sosial dan perlindungan hak.

Salah satunya adalah pembatasan poligami. Jika dalam fikih klasik poligami relatif longgar, hukum nasional justru menegaskan asas monogami.

Poligami hanya dimungkinkan dalam kondisi tertentu, dengan syarat ketat dan wajib memperoleh izin pengadilan, termasuk persetujuan istri pertama.

Selain itu, prosedur perceraian juga mengalami perubahan mendasar. Talak tidak lagi dapat dijatuhkan secara sepihak di luar pengadilan.

Perceraian hanya sah melalui proses persidangan, guna memastikan hak-hak istri, seperti nafkah iddah dan mut’ah, tetap terlindungi secara hukum.

Reformasi ini juga memperkuat konsep kemitraan suami-istri, di mana relasi dalam rumah tangga diposisikan setara.

Kontribusi istri, baik di ranah domestik maupun publik, diakui melalui pelembagaan harta bersama sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

Menurut Alauddin, dinamika tersebut membuktikan bahwa hukum Islam memiliki sifat elastis dan adaptif.

Nilai-nilai syariat dapat ditafsirkan secara kontekstual untuk mencapai tujuan utama hukum Islam, yakni maqashid al-shari’ah atau kemaslahatan umum.

“Reformasi ini bukan sekadar perubahan pasal undang-undang, tetapi wujud ikhtiar negara menghadirkan keadilan yang lebih relevan dengan realitas sosial,” jelasnya.

Meski regulasi telah tersedia, tantangan implementasi masih besar. Praktik nikah siri dan perkawinan anak masih ditemukan dengan dalih agama maupun tradisi.

Karena itu, sosialisasi hukum dinilai menjadi kunci agar reformasi ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Sebagai catatan penutup, transformasi besar hukum keluarga Islam di Indonesia menunjukkan proses reformasi hukum yang dinamis dan berkelanjutan.

Hukum tidak hadir untuk membatasi kebebasan beragama, melainkan untuk melindungi setiap anggota keluarga, memastikan keadilan gender, serta menjamin masa depan generasi bangsa yang lebih sehat dan berpendidikan.

Dengan pendekatan yang rasional, kontekstual, dan berorientasi kemaslahatan, hukum keluarga Islam di Indonesia terus bergerak dari teks menuju praktik yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Wallahu’alam.

Editor : Huzair.zainal

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut