Polman Bebaskan PBB 1.357 Warga Miskin, Aktivis Sebut Kenaikan Pajak ‘Timpang dan Kehilangan Akal

POLEWALI MANDAR, iNewsPolman.id – Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar (Polman) resmi membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk 1.357 rumah tangga miskin pada tahun 2025.
Kebijakan ini diklaim sebagai wujud perhatian terhadap rakyat kecil, namun di sisi lain kenaikan tarif PBB hingga dua kali lipat justru menuai kritik keras dari aktivis dan pengamat.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Polman, Alimuddin, menegaskan bahwa kebijakan ini sudah melalui proses validasi di tingkat desa. Jumat (16/8/2025).
“Validasi penerima sudah dilakukan di desa. Ada juga desa yang tidak mengajukan data penerima dengan alasan tidak memiliki warga miskin,” ungkap Alimuddin.
Menurutnya, 1.357 objek pajak milik warga miskin kini dibebaskan sepenuhnya dari kewajiban membayar pajak daerah.
Bapenda sebelumnya telah menggelar sosialisasi pada Februari lalu kepada camat, lurah, dan kepala desa terkait perubahan kebijakan PBB.
Namun, kebijakan ini dipandang belum menyentuh problem struktural. Aktivis sosial Lasuardi menilai, meski sah secara hukum, kenaikan PBB berpotensi menambah beban rakyat kecil.
“Hukum tidak cukup berdiri di atas legalitas semata. Harus ada kajian soal kemampuan bayar masyarakat. Jika fiskal kaku tanpa melihat realitas rakyat, maka kebijakan itu kehilangan keadilan,” tegas Lasuardi.
Ia bahkan menyebut langkah ini hanya simbolik dan menggambarkan kurangnya inovasi pemerintah daerah dalam mencari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Membebaskan sebagian kecil warga miskin tidak menyelesaikan masalah. Ini sekadar simbolik karena daerah seolah kehilangan akal mencari PAD selain memungut dari rakyat,” kritiknya.
Lasuardi juga mencontohkan perlawanan rakyat di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang menolak keras kebijakan pajak daerah karena dianggap arogan dan tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.
Menurutnya, kepercayaan publik adalah modal utama pemungutan pajak. Tanpa transparansi penggunaan pajak dan bukti nyata manfaatnya kembali ke masyarakat, legitimasi pemerintah daerah akan terkikis.
“Jika pajak hanya dipandang sebagai beban untuk mengejar PAD, semangat gotong royong akan hilang. Pajak seharusnya jadi kontribusi bersama, bukan alat pemaksaan,” ujarnya.
Kini, kebijakan PBB di Polewali Mandar berada di persimpangan besar: di satu sisi memberikan keringanan bagi ribuan warga miskin, namun di sisi lain kenaikan tarif menimbulkan kecemasan dan potensi gejolak sosial.
Para pengamat mengingatkan, pajak daerah harus dikelola dengan keseimbangan antara kebutuhan PAD dan kemampuan ekonomi rakyat. Tanpa itu, kebijakan fiskal bisa sah secara hukum, tetapi gagal memperoleh legitimasi sosial.
Kebijakan fiskal seperti pajak daerah sejatinya memerlukan keseimbangan antara kebutuhan PAD dengan kemampuan ekonomi rakyat.
Pemerintah daerah dituntut untuk transparan dalam pemanfaatan pajak serta adil dalam menentukan tarif, agar pajak tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara sosial di mata masyarakat.
Editor : Huzair.zainal