Akademisi Kritik Pembangunan Polewali Mandar: Alam Sudah Berbicara, Tapi Pemerintah Masih Diam

POLEWALI MANDAR, iNewsPolman.id — Kritik tajam terhadap arah pembangunan di Kabupaten Polewali Mandar kembali menggema, kali ini datang dari Muh. Sukri, seorang akademisi dan pengamat kebijakan daerah.
Dalam tulisan reflektif bertajuk "Membaca Tanda-Tanda Alam, Menafsir Dokumen, dan Menata Ulang Pemerintahan" yang dirilis Rabu, 9 Juli 2025, Sukri mengingatkan bahwa alam telah memberi peringatan keras, namun birokrasi tampak masih tuli dan beku dalam menyikapinya.
Sukri menyoroti tanda-tanda kerusakan alam di berbagai titik Polewali Mandar—retaknya tebing di Batetangnga, meluapnya sungai-sungai di Mapilli dan Luyo saat hujan deras, hingga abrasi pantai Binuang yang menggerus pemukiman warga.
Ia menyebut fenomena ini bukan semata gejala alam, melainkan bentuk protes bumi atas tata kelola pembangunan yang abai terhadap keseimbangan lingkungan.
Fenomena ini terjadi di sejumlah wilayah rawan bencana di Kabupaten Polewali Mandar, seperti Batetangnga (rawan longsor), Mapilli dan Luyo (banjir), serta kawasan pesisir Binuang (abrasi).
Peringatan ini disampaikan Sukri melalui catatan kritisnya pada Rabu, 9 Juli 2025, menyusul tren cuaca ekstrem dan bencana ekologis yang semakin sering melanda wilayah ini dalam beberapa tahun terakhir.
Muh. Sukri—seorang dosen, peneliti, sekaligus pengamat kebijakan daerah. Selama ini ia dikenal vokal dalam isu pembangunan berbasis lingkungan dan keadilan sosial di Sulawesi Barat.
Mengapa Kritik Ini Penting?
Karena menurut Sukri, pemerintah kerap gagal membaca “bahasa alam” yang telah diterjemahkan dalam bentuk dokumen formal—seperti laporan banjir, kajian bencana, grafik kerusakan DAS, hingga laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK.
Ia menilai pemerintah hanya menjadikan dokumen sebagai formalitas, bukan sebagai bahan evaluasi mendalam untuk mengubah orientasi kebijakan.
Sukri menawarkan seruan konkret:
Tulisan kritis ini bukan sekadar seruan akademik, tetapi juga panggilan nurani. Pemerintah daerah perlu keluar dari zona nyaman administratif dan mulai membangun keberanian untuk membaca ulang dokumen, mendengar suara sunyi dari alam, dan merumuskan arah pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan.
Dalam situasi krisis iklim dan sosial, ketidakpekaan adalah bentuk kelalaian yang tak bisa ditoleransi lagi.
Editor : Huzair.zainal