POLEWALI MANDAR, iNewsPolman.id Langit sore di Polewali Mandar (Polman) mulai meredup, menyisakan semburat jingga di atas antrean panjang sebuah bank. Di antara para pengantri, seorang ibu dengan wajah lelah menggenggam buku rekeningnya. Ia seharusnya berbahagia – hari itu ia datang untuk mencairkan beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP), dana yang sangat berarti untuk pendidikan anaknya. Namun, di sampul buku itu, terpampang dua wajah yang tak ia pilih, dua nama yang kini seolah datang membawa beban.
Dalam video singkat yang tersebar di TikTok lewat akun @Politik Ngakak, ibu itu menceritakan kekhawatirannya dengan suara lemah, hampir berbisik. Bantuan yang seharusnya ia terima tanpa syarat mendadak menjadi sandera di antara pilihan. Ia dihadapkan pada sebuah pesan implisit: dukung Dirga Singkarru, salah satu calon dalam Pilkada Polman, atau kehilangan akses beasiswa. “Kalau tidak, bantuan ini akan ditarik,” katanya perlahan, menahan nada getir yang tertahan di ujung bibir.
Tak perlu waktu lama, video itu menjadi viral, mencuri perhatian masyarakat luas yang merasa geram. Bagi mereka, kisah ibu itu bukan sekadar cerita biasa – ini adalah refleksi ketidakadilan yang sering mereka dengar namun jarang terlihat. Di balik wajahnya, mereka menyaksikan manipulasi terselubung yang mencekik mereka yang rentan dan tak punya pilihan.
Segera, perhatian pun tertuju pada Bawaslu Polman, badan pengawas pemilu yang kini berada di tengah desakan publik untuk mengambil tindakan. Dugaan politisasi beasiswa PIP, sebuah bantuan pendidikan dari pemerintah, kini menjadi tamparan keras bagi mereka yang berharap demokrasi berjalan jujur. Jika terbukti, ini bukan sekadar pelanggaran; ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat yang memegang teguh masa depan anak-anak mereka.
“Ada generasi yang bergantung pada beasiswa ini,” ujar seorang aktivis pendidikan setempat dengan nada penuh amarah. “Jika politik menyusup ke dalam dunia pendidikan, Bawaslu harus bergerak. Ini bukan sekadar politik uang, ini soal masa depan mereka.”
Video itu pun memantik gelombang dukungan bagi ibu tersebut, dan banyak ibu lainnya yang mungkin bernasib sama namun memilih diam, takut dan ragu. Di layar ponsel, wajahnya mungkin hanya terlihat beberapa detik, tetapi dalam sepenggal cerita itu, ia telah menjadi simbol bagi banyak suara yang menuntut hak mereka tanpa kompromi, tanpa ancaman. Sepucuk buku rekening yang seharusnya menjadi sumber harapan kini berubah menjadi saksi bisu, bahwa suara rakyat kecil selalu layak didengar – dan dilindungi.
Editor : Huzair.zainal